“WAYANG (Wadah Apresiasi Budaya Anak Negeri) sebagai Revitalisasi Pendidikan Karakter Generasi Emas menyongsong Indonesia 2045”
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
“Kesejahteraan
sebuah bangsa bermula dari karakter kuat warganya” kata-kata itu diungkapkan
Marcus Tulius Cicero (106-43 SM). Begitupula dengan Indonesia, kesejahteraan
merupakan impian semua warganya, tetapi seperti yang kita ketahui masih banyak
masalah di dunia pendidikan. Kondisi pendidikan karakter yang ada di Indonesia mulai
melemah. Kondisi tersebut bisa dilihat dari kejahatan seksual pada anak di
bawah umur, kasus Bulliying, serta kurangnya perhatian dan ketertarikan
pada budaya Indonesia yang marak terjadi
di kalangan anak muda, serta masih banyak masalah lainnya. Mereka lebih memilih
untuk menghabiskan waktu untuk berfoya-foya, nongkrong di kafe-kafe mahal bahkan kejadian yang tak sepatutnya
dilakukan oleh negara timur yang berlandaskan Tuhan Yang Maha Esa lumrah
terjadi. Nilai-nilai religius telah memudar, mereka seakan malu jika aktivitas
mereka berpusat pada kegiatan keagamaan. Apabila fenomena seperti itu secara
terus-menerus terjadi di Indonesia, maka nilai-nilai kerohanian, nilai moral
dan etika akan luntur secara perlahan.
Di dunia
pendidikan, pelajaran pendidikan karakter sangat minim sekali. Dalam satu
minggu siswa hanya mendapat satu kali pertemuan dengan alokasi waktu kurang
lebih 90 menit. Selain itu dengan waktu yang sangat singkat, siswa juga merasa
bosan untuk mendengarkan pelajaran pendidikan karakter. Hal tersebut
mengakibatkan lemahnya nilai-nilai pendidikan karakter di Indonesia. Berangkat
dari masalah tersebut, harus ditemukan Problem
Solving yang dapat dijadikan media siswa di sekolah sebagai upaya peningkatan
pendidikan karakter di Indonesia. Media yang kami usulkan adalah media pembelajaran
dengan menggunakan Wayang. Dimana wayang sebagai wadah apreasiasi siswa
terhadap budaya Indonesia.
Dalam
perkembangannya, wayang mulai ditinggalkan peminatnya, para generasi lebih memilih
untuk menonton sinetron di layar TV, padahal
konten yang terkandung kurang mendidik dan acap kali mengajarkan berbagai
perilaku kurang baik seperti kekerasan, gaya hedonis, serta terlalu menjunjung
budaya western yang sebenarnya
bertolak belakang dengan budaya asli Indonesia. Generasi saat ini beranggapan
mereka kurang meminati wayang karena cerita yang sudah pakem dan terlalu monoton,
serta gaya penyuguhan yang tidak termodifikasi membuat mereka menganggap wayang
itu membosankan. Oleh karena itulah, kami mengusulkan wayang dengan inovasi berbeda
pada pertunjukannya, sehingga tidak akan tekesan membosankan dan tidak pakem
ceritanya. Dimana wayang sebagai wadah apresiasi budaya karya anak negeri untuk
menjaga keanekaragaman budaya Indonesia yang akhirnya akan menunjang
keberhasilan Generasi Emas Menuju Indonesia 2045.
Generasi emas
adalah generasi yang mampu bersaing secara global, berkemampuan komprehensif,
kreatif, inovatif dan berkarakter. Generasi inilah yang menjadi harapan
Indonesia tahun 2045 yang akan dihadapkan pada
masalah kompleks. Globalisasi dengan dukungan teknologi informasi yang
begitu pesat membuat kehidupan semakin kompleks sehingga sulit dipahami dan
diprediksi. Polapikir (mindset) negarawan bangsa ini semakin jauh dari smart karena terjebak pada berfikir
praktis. Mayoritas di antara mereka fokus pada kehidupan kuantitatif
materialistik dan melupakan kehidupan kualitatif spiritual. Mereka yang
menerapkan pola pikir kuantitatif materialistik menjadikan pengumpulan harta
sebagai kriteria keberhasilan. Sementara mereka yang menggunakan berpikir
kualitatif spiritual menjadikan harta sebagai instrumen untuk tercapainya
tujuan yang lebih mulia. Karakter Generasi Emas 2045 seharusnya diarahkan
kepada orientasi hidup kualitatif spiritual yang menjadi kekuatan membangun
negara besar, maju, jaya dan bermartabat. (Manullang, 2013)
Dalam upaya
persiapan generasi emas menuju Indonesia tahun 2045, Indonesia sudah seharusnya
menyiapkan berbagai tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut.
Tentunya masyarakat Indonesia harus menjadi maju, mandiri, dan modern. Selain
itu, pendidikan karakter merupakan penentu keberhasilan generasi emas menuju
Indonesia tahun 2045. Diharapkan dengan adanya WAYANG (Wadah Apresiasi Budaya
Anak Negeri) sebagai revitalisasi pendidikan karakter Indonesia dapat
meningkatkan kesadaran siswa tentang pendidikan karakter untuk generasi emas
menyongsong Indonesia 2045.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana
kondisi pendidikan karakter di Indonesia?
2. Apa
upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan pendidikan karakter di Indonesia?
3. Bagaimana
cara WAYANG (Wadah Apresiasi Budaya Anak Negeri) sebagai revitalisasi
pendidikan karakter menyongsong generasi emas Indonesia 2045?
C.
TUJUAN
DAN MANFAAT PENULISAN
i. Tujuan
Penulisan
Tujuan
penulisan karya tulis ilmiah ini adalah
sebagai berikut :
1. Memberikan
pengetahuan kepada khalayak umum tentang pentingnya pendidikan karakter.
2. Melestarikan
budaya asli Indonesia melalui pertunjukkan wayang yang di dalamnya terkandung
nilai-nilai karakter seperti moral dan etika.
3. Menjadikan
inovasi pertunjukan WAYANG sebagai wadah apresiasi seni yang dikalaborasikan
dengan kreativitas siswa.
4. Menyiapkan
generasi emas Indonesia tahun 2045 dengan menerapkan pertunjukan WAYANG.
ii.
Manfaat Penulisan
1.
Dapat memberikan pengetahuan kepada
khalayak umum tentang pentingnya pendidikan karakter.
2.
Dapat melestarikan budaya asli Indonesia
melalui pertunjukkan wayang yang di dalamnya terkandung nilai-nilai karakter
seperti moral dan etika.
3.
Dapat menjadikan inovasi pertunjukan WAYANG
sebagai wadah apresiasi seni yang dikalaborasikan dengan kreativitas siswa.
4.
Dapat menyiapkan generasi emas Indonesia
tahun 2045 dengan menerapkan pertunjukan WAYANG.
BAB II
METODOLOGI PENELITIAN
Metode penulisan
dalam karya tulis ini adalah menggunakan studi pustaka dengan bersumber dari jurnal, buku, internet,
dan buku penunjang lainnya. Jenis penulisannya adalah karya tulis ilmiah,
dimana sebuah karya yang mencantumkan referensi ilmiah dan telah dibuktikan
dalam penelitian. Fokus penulisan terdapat pada pembahasan mengenai konsep
pertunjukan WAYANG (Wadah Apresiasi Budaya Anak Negeri) sebagai revitalisasi
pendidikan karakter menyongsong generasi emas Indonesia 2045. Teknik
pengumpulan data yaitu mencari referensi dengan cara studi pustaka yaitu buku
penunjang, jurnal, dan data dari internet, sebagai landasan dalam penyusunan
karya tulis. Setelah mendapat data yang mendukung, maka langkah selanjutnya
adalah menganalisis data. Data tersebut diklasifikasikan sebagai sumber data
yang memilki kecocokan atau hubungan antara fakta atau data di lapangan dengan
referensi yang telah diperoleh. Apabila sudah ditemukan hubungan dengan teori
dengan fakta lapangan, maka hal itu dapat dikaji dan dijelaskan secara rinci mengenai
kesesuaian antara referensi yang dibuat dengan fakta yang benar-benar terjadi. Data
di lapangan diperoleh dengan melakukan observasi ke sekolah-sekolah yang masih
minim penerapan pendidikan karakter.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kondisi Pendidikan Karakter di
Indonesia
Kondisi
karakter generasi Indonesia kian hari makin memprihatinkan. Belakangan ini
mulai bermunculan kasus-kasus yang menunjukkan degradasi moral, seperti
kekerasan seksual yang dilakukan siswa SMP terhadap teman sekelasnya, kasus
pemerkosaan yang dilakukan oleh oknum guru, kasus pembullyan oleh siswa menengah pertama dan tingkat perguruan tinggi,
kekerasan oleh siswa sekolah dasar terhadap teman sekelasnya hingga menyebabkan
jatuhnya korban jiwa, dan kasus seorang siswa yang tega memukul gurunya karena
ditegur untuk melaksanakan shalat dhuha. Berbagai kasus tersebut seakan
menunjukkan terjadinya degradasi moral yang terus meningkat di Indonesia.
Komnas
Perlindungan Anak mencatat tahun 2014 jumlah kasus kekerasan terhadap anak
meningkat 60 persen dari tahun 2013. Hal ini sungguh sangat mengkhawatirkan,
bahkan diperkirakan masih ada banyak kasus yang terjadi, namun belum terkuak.
Dengan ini bisa ditarik kesimpulan kondisi degradasi moral di Indonesia begitu
memperihatinkan. Kekerasan seakan menjadi jalan keluar yang digunakan atas
berbagai permasalahan yang menimpa generasi saat ini.
Kecanggihan
teknologi serta pengaruh globalisasi tidak bisa dibantah ikut menjadi penyebab
menurunnya moral generasi Indonesia. Seorang siswa menganiaya temannya hingga
tewas karena terinspirasi dengan game
online yang sering dia mainkan, kasus pelecehan seksual seorang siswa
menengah atas juga dilakukan karena pengaruh dari video tidak senonoh yang dia
tonton di internet. Pengaruh tayangan di televisi juga ikut andil dalam rusaknya
karakter generasi Indonesia, munculnya sinetron-sinetron yang tidak ada unsur
pendidikannya mulai diadopsi oleh tunas-tunas bangsa, dan tokoh pahlawan mulai
tergeser dengan pemain sinetron yang sebenarnya tidak memberikan contoh yang
baik.
Sekolah
yang seharusnya menjadi tempat penanaman nilai-nilai kebaikan, toleransi,
moral, serta sikap saling menghargai justru menjadi tempat terjadinya
kekerasan, pelecehan, dan tindakan amoral yang justru pelakunya adalah
orang-orang terdidik atau anak yang sedang menempuh pendidikan. Sekolah selama
ini disibukkan agar siswanya mendapatkan nilai yang baik pada sisi kognitif
(pengetahuan) saja sedangkan untuk nilai afektif (sikap) utamanya pembentukan
karakter kurang diperhatikan. Akibatnya nuraninya menjadi tumpul, kurang
memiliki empati dan solidaritas, kurang tahan terhadap tekanan yang dihadapi,
menyukai budaya instan, egois, individualistis, kurang peka terhadap kondisi di
lingkungannya, serta tidak memiliki sikap kritis menyelesaikan berbagai masalah
yang terjadi di masyarakat.
Disamping
itu, pendidik terlalu banyak dibebani tugas-tugas administratif dan jam
mengajar yang membuat mereka sudah kehabisan tenaga dan waktu, sehingga tidak
sempat memikirkan pendidikan karakter bagi anak didik mereka. Ini belum
termasuk alokasi waktu pendampingan kegiatan ekstrakulikuler yang seringkali
menyita seluruh hari bagi guru. Selain itu, kurang adanya pelatihan dan
penyelenggara bagi peningkatan keterampilan guru dalam lembaga pendidikan kita
juga membuat para guru cepat merasa capek, sehingga untuk memikirkan hal lebih
dalam tentang pendidikan karakter menjadi sangat sulit (Koesoema, 2007) .
Oleh
karena itu, kini saatnya kita berupaya membangun karakter secara
sungguh-sungguh. Pendidikan harus kita fungsikan sebagaimana mestinya, sebagai sarana
terbaik untuk memicu kebangkitan dan menggerakkan zaman. Sekolah di seluruh
penjuru negeri mesti bersama-sama menjadikan dirinya: sekolah karakter, tempat
terbaik untuk menumbuhkembangkan karakter. (Saptono, 2011)
3.2
Upaya
yang Dilakukan untuk Meningkatkan Pendidikan Karakter di Indonesia
Dari
kondisi di atas dapat diketahui betapa krusialnya masalah pendidikan karakter
di Indonesia, budaya ketimuran yang menjunjung nilai-nilai etika, moral, sopan
santun yang telah mendarah daging saat ini seakan menjadi simbolisasi saja.
Oleh karena itu Presiden Joko Widodo pada tahun 2017 akan mengeluarkan Perpres
pengganti peraturan Kemendikbud untuk menguatkan pendidikan karakter di
Indonesia sebagai upaya mengembalikan nilai-nilai luhur.
Karakter
merupakan pendukung utama dalam pembangunan bangsa, kata Bung Karno. Beliau
(Soedarsono, 2009:46) mengatakan: “Bangsa ini harus dibangun dengan
mendahulukan pembangunan karakter (character
building). Pendidikan karakter adalah istilah luas yang digunakan untuk
menggambarkan kurikulum dan ciri-ciri organisasi sekolah dalam mendorong
pengembangan nilai-nilai fundamental anak di sekolah. Berbagai subkomponen yang
menjadi bagian dari program pendidikan karakter, seperti pembelajaran dan
kurikulum tentang keterampilan-keterampilan sosial, pengembangan moral,
pendidikan nilai, pembinaan kepedulian, dan berbagai program pengembangan
sekolah yang mencerminkan aktivitas yang mengarah pada pendidikan karakter (Yaumi, 2014) . Berdasarkan
definisi tersebut terdapat beberapa nilai-nilai yang diharapkan dapat tertanam
pada diri anak. Nilai-nilai karakter yang diharapkan mampu terimplementasi
dalam berpikir, berkehendak, dan bertindak.
Pada
dasarnya, pendidikan karakter telah lama dianut secara tersirat dalam
penyelenggaraan pendidikan nasional, akan tetapi perumusan, indikator,
karakteristik, dan komponennya belum ditetapkan secara jelas. Seiring
berkembangnya zaman, karakter yang dahulu penerapannya hanya tersirat saja
kemudian mulai luntur dari jati diri generasi bangsa. Kejadian yang tidak
sesuai dengan karakter Indonesia, lumrah terjadi di beberapa daerah di
Indonesia.
Penerapan
pendidikan karakter di Indonesia mulai dan bahkan telah diterapkan seperti,
kebijakan nasional pembangunan karakter bangsa tahun 2010, kurikulum KTSP,
kurikulum 2013, pemberlakuan full day
school kemendikbud tahun 2017, bahkan Perpres pengganti peraturan
Kementrian dan Kebudayaan Indonesia yang menekankan pada pendidikan karakter
akan diterbitkan. Akan tetapi, kebijakan-kebijakan tersebut masih belum
berhasil atau tidak bisa menjamin untuk memperbaiki degradasi moral yang
terjadi di Indonesia.
Pada
penerapannya sebenarnya pendidikan karaker sudah tersisip pada mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan yang dijadikan mata pelajaran wajib dari tingkat
sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Akan tetapi, saat direalisasikan
pengalokasian waktunya sangatlah minim. Dalam satu minggu siswa hanya mendapat
satu kali pertemuan dengan alokasi waktu kurang lebih 90 menit. Selain itu,
dengan waktu yang sangat singkat, siswa juga merasa bosan untuk mendengarkan
pelajaran karena seringkali guru mengemas materi dengan tidak menarik,
penyampaian yang monoton sehingga siswa jenuh dan enggan untuk mendengarkan
pelajaran. Hal ini tentu saja menyebabkan nilai-nilai karakter yang ingin
disampaikan guru menjadi tidak mengena pada diri siswa.
Oleh
karena itu, harus ada suatu wadah yang dikemas secara tidak membosankan untuk
mengembalikan nilai-nilai karakter masyarakat Indonesia. Generasi saat ini
harus disiapkan untuk menuju generasi emas menyongsong Indonesia tahun 2045,
yaitu generasi harapan Indonesia ke depannya, yang mandiri dan tetap menjaga
nilai-nilai karakter serta ciri khas negara Indonesia yang berlandaskan
pancasila dan UUD 1945.
3.3
WAYANG
(Wadah Apresiasi Budaya Anak Negeri) sebagai revitalisasi pendidikan karakter
menyongsong generasi emas Indonesia 2045
Degradasi
moral yang terjadi di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Berbagai upaya telah
dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki nilai-nilai karakter masyarakat
Indonesia. Perubahan menteri kebudayaan dan pendidikan mengakibatkan sistem
pendidikan karakter juga berubah. Hal ini
menunjukkan telah banyak usaha sadar yang dilakukan pemerintah untuk
memperbaiki sistem pendidikan dalam upaya meningkatkan pendidikan karakter di
Indonesia. Akan tetapi, usaha-usaha yang dilakukan masih sedikit berdampak pada
kehidupan masyarakat Indonesia. Buktinya masih terjadi kasus degradasi moral
yang seharusnya tidak terjadi pada negara yang menganut ideologi pancasila dan
berlandaskan UUD 1945.
Dalam
upaya merevitalisasi pendidikan karakter perlu adanya suatu problem solving yang dapat mengatasinya.
WAYANG (Wadah Apresiasi Budaya Anak Negeri) sebagai revitalisasi pendidikan
karakter menyongsong generasi emas Indonesia 2045, kami usulkan untuk
memperbaiki keadaan moral di negeri ini. Wayang sebagai karya asli anak negeri
perlu dilestarikan keberadaannya, melihat akhir-akhir ini kurangnya minat
generasi muda terhadap wayang. Selain itu, wayang berfungsi sebagai wadah yang
dapat digunakan Indonesia menghadapai generasi emas 2045, dimana pada tahun
tersebut menjunjung tinggi nilai-nilai karakter.
Pada
masa lalu, upaya merevitalisasi wayang sebagai media komunikasi sudah banyak
dilakukan. Sayang pada masa kini upaya semacam itu mulai meredup. Hanya
beberapa stasiun televisi nasional yang menayangkan wayang. Padahal wayang sebagai
media komunikasi masih besar. Wayang masih mendapatkan perhatian pendengar dan
pemirsanya karena rujukan nilai yang terkandung di dalamnya. (Tulung, 2011)
Tokoh-tokoh pewayangan tidak saja merupakan
salah satu sumber pencarian nilai-nilai yang amat diperlukan bagi kelangsungan
hidup bangsa, tetapi juga merupakan salah satu wahana atau alat pendidikan
watak yang baik sekali, terutama melalui tokoh-tokoh sentral. Pertunjukan
wayang itu sendiri sebenarnya merupakan alat pendidikan watak yang menawarkan
metode penddikan yang amat menarik. Hal ini karena wayang melalui tokoh-tokoh
sentral dari lakon-lakon tertentu mengajarkan ajaran dan nilai-nilai yang
secara dogmatis tidak sebagai satu indoktrinasi, tetapi ia menawarkan ajaran-ajaran
dan nilai-nilai kepada penonton (masyarakat dan indvidu-indvidu). (Mintosih, 1995)
Oleh
karena itu, konsep yang kami usulkan dalam pertunjukan wayang adalah pada akhir
semester siswa wajib membuat pertunjukan wayang yang di dalamnya terdapat
nilai-nilai karakter dan budaya. Sebuah budaya akan merasuk ke dalam sistem
sosial tertentu melalui internalisasi. Salah satu caranya adalah melalui jalur
pendidikan. (Tulung, Wayang sebagai Media Komunikasi Tradisional dalam Diseminasi
Informasi, 2011) .
Jadi, siswa diberi kesempatan untuk memilih tokoh-tokoh wayang yang akan
dipertunjukan saat akhir semester. Di dalam pertunjukkan tersebut, harus ada
kolaborasi unsur-unsur seni musik dan tari yang berkaitan dengan budaya
setempat. Dengan tujuan siswa dapat menyalurkan kreativitasnya melalui
pertunjukan wayang. Jadi tidak hanya melakukan pertunjukan wayang untuk
melestarikan budaya serta untuk mengembalikan pentingnya nilai-nilai karakter,
akan tetapi juga siswa dituntut untuk memiliki kreativitas seni dan musik yang
disinergikan dengan pertunjukan wayang. Maka, wayang dapat benar-benar sebagai
wadah untuk menyalurkan ke dua fungsi tersebut.
Seperti
yang kita ketahui, wayang merupakan karya asli anak negeri yang memiliki
tingkat kebosanan tinggi dalam pertunjukkannya, sehingga mengakibatkan
sedikitnya masyarakat Indonesia yang menggemari wayang. Oleh karena itu, Wayang
akan dikonsep sebagai wadah yang tidak membosankan, seperti mengkolaborasikan
tokoh-tokoh berpengaruh zaman dahulu dan sekarang. Alur ceritanya juga akan
dibawakan secara komedi.
Pada tahap awal dalam pertunjukan wayang akan
diberikan permasalahan-permasalahan yang tidak mengedepankan nilai-nilai
karakter dan juga akan diberikan aktivitas-aktivitas yang mendukung nilai
karakter. Dari situlah siswa akan membandingkan antara unsur-unsur cerita yang
mengedepankan nilai karakter dan tidak. Kemudian di akhir cerita akan
dipertontonkan cerita yang mengarah pada keridaksuksesan unsur-unsur peristiwa
yang tidak mengedepankan nilai-nilai karakter. Jadi setelah berakhirnya
pertunjukan wayang dapat menstimulus siswa melakukan aktivitas sadar yang
sesuai nilai-nilai karakter yang ada di Indonesia.
Dengan
adanya pertunjukan wayang yang wajib dilakukan oleh siswa diakhir semester,
dapat dijadikan alternatif untuk mempersiapkan generasi emas menyongsong
Indonesia 2045. Seperti yang kita ketahui, bahwa Indonesia harus benar-benar
mandiri, aktif dan memiliki pendidikan karakter yang kuat untuk mensukseskan
generasi emas tahun 2045.
BAB
IV
PENUTUP
4.1
KESIMPULAN
Kondisi
karakter generasi Indonesia kian hari makin memprihatinkan. Belakangan ini
mulai bermunculan kasus yang menunjukkan adanya degradasi moral seperti
kekerasan, pelecehan, serta beragai tindakan tercela yang mana pelakunya adalah
siswa yang sedang menempuh pendidikan. Hal ini menunjukkan adanya pengikisan
nilai karakter. Penerapan pendidikan karakter sebenarnya di Indonesia telah
lama dianut secara tersirat dalam pendidikan nasional, akan tetapi perumusannya
belum ditetapkan secara jelas. Selain itu, pendidikan karakter mulai dan bahkan
telah diterapkan seperti, kebijakan nasional pembangunan karakter bangsa tahun
2010 akan tetapi kebijakan tersebut masih belum berhasil.
Oleh
karena itulah, dalam upaya merevitalisasi pendidikan karakter perlu adanya
suatu problem solving yang dapat
mengatasinya. WAYANG (Wadah Apresiasi Budaya Anak Negeri) sebagai revitalisasi
pendidikan karakter menyongsong generasi emas Indonesia 2045, kami usulkan
untuk memperbaiki keadaan moral di negeri ini. Wayang sebagai karya asli anak
negeri perlu dilestarikan keberadaannya, melihat akhir-akhir ini kurangnya
minat generasi muda terhadap wayang. Selain itu, wayang berfungsi sebagai wadah
yang dapat digunakan Indonesia menghadapai generasi emas 2045.
4.2 SARAN
Indonesia
merupakan negara yang dikenal di mata dunia sebagai negara yang menjunjung
budaya kesantunan, keramahan, beretika. Belakangan ini mulai bermunculan
kasus-kasus yang menunjukkan adanya degradasi moral generasi Indonesia. Hal ini
menunjukkan adanya penurunan nilai karakter sehingga perlu adanya perbaikan
serta revitalisasi karakter. Seyogyanya, para generasi haruslah mampu menjadi
genarasi yang bukan hanya unggul dalam hal akademik namun juga pada karakternya.
Indonesia bukan hanya butuh generasi berintelektual untuk bisa maju, namun yang
lebih penting harus mencetak generasi yang berkarakter, beretika, dan bermoral.
DAFTAR PUSTAKA
Made
Purna, I dan Mintosih Sri. 1995. Arti dan
Makna Tokoh Pewayangan Mahabarata dalam Pembentukan dan Pembinaan Watak (Seri
I). Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Saptono. 2011. Dimensi-dimensi Pendidikan Karakter Wawasan, Strategi dan Langkah
Praktis.Salatiga:Erlangga.
H.
Tulung, Freddy.2011.Wayang sebagai Media
Komunikasi Tradisional dalam Dimensi Informasi.Jakarta:Kementrian
Komunikasi dan Informatika RI Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi
Publik.
Kusuma,
Doni.2007.Pendidikan Karakter Strategi
Anak dalam Global.Jakarta:Grasindo.
Yaumy,
Muhammad.2014.Pendidikan Karakter
Landasan, Pilar dan Implementasi.Jakarta:Prenadamedia Group.
Manullang,
Belferik (2013). Grand Desain Pendidikan
Karakter Generasi Emas 2045.Jurnal Pendidikan Karakter, Nomor 1, Hal 1-14.