“WAYANG (Wadah Apresiasi Budaya Anak Negeri) sebagai Revitalisasi Pendidikan Karakter Generasi Emas menyongsong Indonesia 2045”

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
“Kesejahteraan sebuah bangsa bermula dari karakter kuat warganya” kata-kata itu diungkapkan Marcus Tulius Cicero (106-43 SM). Begitupula dengan Indonesia, kesejahteraan merupakan impian semua warganya, tetapi seperti yang kita ketahui masih banyak masalah di dunia pendidikan. Kondisi pendidikan karakter yang ada di Indonesia mulai melemah. Kondisi tersebut bisa dilihat dari kejahatan seksual pada anak di bawah umur, kasus Bulliying, serta kurangnya perhatian dan ketertarikan pada budaya Indonesia yang marak terjadi di kalangan anak muda, serta masih banyak masalah lainnya. Mereka lebih memilih untuk menghabiskan waktu untuk berfoya-foya, nongkrong di kafe-kafe mahal bahkan kejadian yang tak sepatutnya dilakukan oleh negara timur yang berlandaskan Tuhan Yang Maha Esa lumrah terjadi. Nilai-nilai religius telah memudar, mereka seakan malu jika aktivitas mereka berpusat pada kegiatan keagamaan. Apabila fenomena seperti itu secara terus-menerus terjadi di Indonesia, maka nilai-nilai kerohanian, nilai moral dan etika akan luntur secara perlahan.
Di dunia pendidikan, pelajaran pendidikan karakter sangat minim sekali. Dalam satu minggu siswa hanya mendapat satu kali pertemuan dengan alokasi waktu kurang lebih 90 menit. Selain itu dengan waktu yang sangat singkat, siswa juga merasa bosan untuk mendengarkan pelajaran pendidikan karakter. Hal tersebut mengakibatkan lemahnya nilai-nilai pendidikan karakter di Indonesia. Berangkat dari masalah tersebut, harus ditemukan Problem Solving yang dapat dijadikan media siswa di sekolah sebagai upaya peningkatan pendidikan karakter di Indonesia. Media yang kami usulkan adalah media pembelajaran dengan menggunakan Wayang. Dimana wayang sebagai wadah apreasiasi siswa terhadap budaya Indonesia.
Dalam perkembangannya, wayang mulai ditinggalkan peminatnya, para generasi lebih memilih untuk menonton sinetron di layar TV,  padahal konten yang terkandung kurang mendidik dan acap kali mengajarkan berbagai perilaku kurang baik seperti kekerasan, gaya hedonis, serta terlalu menjunjung budaya western yang sebenarnya bertolak belakang dengan budaya asli Indonesia. Generasi saat ini beranggapan mereka kurang meminati wayang karena cerita yang sudah pakem dan terlalu monoton, serta gaya penyuguhan yang tidak termodifikasi membuat mereka menganggap wayang itu membosankan. Oleh karena itulah, kami mengusulkan wayang dengan inovasi berbeda pada pertunjukannya, sehingga tidak akan tekesan membosankan dan tidak pakem ceritanya. Dimana wayang sebagai wadah apresiasi budaya karya anak negeri untuk menjaga keanekaragaman budaya Indonesia yang akhirnya akan menunjang keberhasilan Generasi Emas Menuju Indonesia 2045.
Generasi emas adalah generasi yang mampu bersaing secara global, berkemampuan komprehensif, kreatif, inovatif dan berkarakter. Generasi inilah yang menjadi harapan Indonesia tahun 2045 yang akan dihadapkan pada masalah kompleks. Globalisasi dengan dukungan teknologi informasi yang begitu pesat membuat kehidupan semakin kompleks sehingga sulit dipahami dan diprediksi. Polapikir (mindset) negarawan bangsa ini semakin jauh dari smart karena terjebak pada berfikir praktis. Mayoritas di antara mereka fokus pada kehidupan kuantitatif materialistik dan melupakan kehidupan kualitatif spiritual. Mereka yang menerapkan pola pikir kuantitatif materialistik menjadikan pengumpulan harta sebagai kriteria keberhasilan. Sementara mereka yang menggunakan berpikir kualitatif spiritual menjadikan harta sebagai instrumen untuk tercapainya tujuan yang lebih mulia. Karakter Generasi Emas 2045 seharusnya diarahkan kepada orientasi hidup kualitatif spiritual yang menjadi kekuatan membangun negara besar, maju, jaya dan bermartabat. (Manullang, 2013)
Dalam upaya persiapan generasi emas menuju Indonesia tahun 2045, Indonesia sudah seharusnya menyiapkan berbagai tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut. Tentunya masyarakat Indonesia harus menjadi maju, mandiri, dan modern. Selain itu, pendidikan karakter merupakan penentu keberhasilan generasi emas menuju Indonesia tahun 2045. Diharapkan dengan adanya WAYANG (Wadah Apresiasi Budaya Anak Negeri) sebagai revitalisasi pendidikan karakter Indonesia dapat meningkatkan kesadaran siswa tentang pendidikan karakter untuk generasi emas menyongsong Indonesia 2045.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana kondisi pendidikan karakter di Indonesia?
2.      Apa upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan pendidikan karakter di Indonesia?
3.      Bagaimana cara WAYANG (Wadah Apresiasi Budaya Anak Negeri) sebagai revitalisasi pendidikan karakter menyongsong generasi emas Indonesia 2045?

C.    TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
i.      Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini adalah  sebagai berikut :
1.    Memberikan pengetahuan kepada khalayak umum tentang pentingnya pendidikan karakter.
2.    Melestarikan budaya asli Indonesia melalui pertunjukkan wayang yang di dalamnya terkandung nilai-nilai karakter seperti moral dan etika.
3.    Menjadikan inovasi pertunjukan WAYANG sebagai wadah apresiasi seni yang dikalaborasikan dengan kreativitas siswa.
4.    Menyiapkan generasi emas Indonesia tahun 2045 dengan menerapkan pertunjukan WAYANG.
ii.         Manfaat Penulisan
1.    Dapat memberikan pengetahuan kepada khalayak umum tentang pentingnya pendidikan karakter.
2.    Dapat melestarikan budaya asli Indonesia melalui pertunjukkan wayang yang di dalamnya terkandung nilai-nilai karakter seperti moral dan etika.
3.    Dapat menjadikan inovasi pertunjukan WAYANG sebagai wadah apresiasi seni yang dikalaborasikan dengan kreativitas siswa.
4.    Dapat menyiapkan generasi emas Indonesia tahun 2045 dengan menerapkan pertunjukan WAYANG.


BAB II
 METODOLOGI PENELITIAN
Metode penulisan dalam karya tulis ini adalah menggunakan studi pustaka dengan bersumber dari jurnal, buku, internet, dan buku penunjang lainnya. Jenis penulisannya adalah karya tulis ilmiah, dimana sebuah karya yang mencantumkan referensi ilmiah dan telah dibuktikan dalam penelitian. Fokus penulisan terdapat pada pembahasan mengenai konsep pertunjukan WAYANG (Wadah Apresiasi Budaya Anak Negeri) sebagai revitalisasi pendidikan karakter menyongsong generasi emas Indonesia 2045. Teknik pengumpulan data yaitu mencari referensi dengan cara studi pustaka yaitu buku penunjang, jurnal, dan data dari internet, sebagai landasan dalam penyusunan karya tulis. Setelah mendapat data yang mendukung, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis data. Data tersebut diklasifikasikan sebagai sumber data yang memilki kecocokan atau hubungan antara fakta atau data di lapangan dengan referensi yang telah diperoleh. Apabila sudah ditemukan hubungan dengan teori dengan fakta lapangan, maka hal itu dapat dikaji dan dijelaskan secara rinci mengenai kesesuaian antara referensi yang dibuat dengan fakta yang benar-benar terjadi. Data di lapangan diperoleh dengan melakukan observasi ke sekolah-sekolah yang masih minim penerapan pendidikan karakter.


BAB III
PEMBAHASAN
3.1  Kondisi Pendidikan Karakter di Indonesia
Kondisi karakter generasi Indonesia kian hari makin memprihatinkan. Belakangan ini mulai bermunculan kasus-kasus yang menunjukkan degradasi moral, seperti kekerasan seksual yang dilakukan siswa SMP terhadap teman sekelasnya, kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh oknum guru, kasus pembullyan oleh siswa menengah pertama dan tingkat perguruan tinggi, kekerasan oleh siswa sekolah dasar terhadap teman sekelasnya hingga menyebabkan jatuhnya korban jiwa, dan kasus seorang siswa yang tega memukul gurunya karena ditegur untuk melaksanakan shalat dhuha. Berbagai kasus tersebut seakan menunjukkan terjadinya degradasi moral yang terus meningkat di Indonesia.
Komnas Perlindungan Anak mencatat tahun 2014 jumlah kasus kekerasan terhadap anak meningkat 60 persen dari tahun 2013. Hal ini sungguh sangat mengkhawatirkan, bahkan diperkirakan masih ada banyak kasus yang terjadi, namun belum terkuak. Dengan ini bisa ditarik kesimpulan kondisi degradasi moral di Indonesia begitu memperihatinkan. Kekerasan seakan menjadi jalan keluar yang digunakan atas berbagai permasalahan yang menimpa generasi saat ini.
Kecanggihan teknologi serta pengaruh globalisasi tidak bisa dibantah ikut menjadi penyebab menurunnya moral generasi Indonesia. Seorang siswa menganiaya temannya hingga tewas karena terinspirasi dengan game online yang sering dia mainkan, kasus pelecehan seksual seorang siswa menengah atas juga dilakukan karena pengaruh dari video tidak senonoh yang dia tonton di internet. Pengaruh tayangan di televisi juga ikut andil dalam rusaknya karakter generasi Indonesia, munculnya sinetron-sinetron yang tidak ada unsur pendidikannya mulai diadopsi oleh tunas-tunas bangsa, dan tokoh pahlawan mulai tergeser dengan pemain sinetron yang sebenarnya tidak memberikan contoh yang baik.
Sekolah yang seharusnya menjadi tempat penanaman nilai-nilai kebaikan, toleransi, moral, serta sikap saling menghargai justru menjadi tempat terjadinya kekerasan, pelecehan, dan tindakan amoral yang justru pelakunya adalah orang-orang terdidik atau anak yang sedang menempuh pendidikan. Sekolah selama ini disibukkan agar siswanya mendapatkan nilai yang baik pada sisi kognitif (pengetahuan) saja sedangkan untuk nilai afektif (sikap) utamanya pembentukan karakter kurang diperhatikan. Akibatnya nuraninya menjadi tumpul, kurang memiliki empati dan solidaritas, kurang tahan terhadap tekanan yang dihadapi, menyukai budaya instan, egois, individualistis, kurang peka terhadap kondisi di lingkungannya, serta tidak memiliki sikap kritis menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi di masyarakat.
Disamping itu, pendidik terlalu banyak dibebani tugas-tugas administratif dan jam mengajar yang membuat mereka sudah kehabisan tenaga dan waktu, sehingga tidak sempat memikirkan pendidikan karakter bagi anak didik mereka. Ini belum termasuk alokasi waktu pendampingan kegiatan ekstrakulikuler yang seringkali menyita seluruh hari bagi guru. Selain itu, kurang adanya pelatihan dan penyelenggara bagi peningkatan keterampilan guru dalam lembaga pendidikan kita juga membuat para guru cepat merasa capek, sehingga untuk memikirkan hal lebih dalam tentang pendidikan karakter menjadi sangat sulit (Koesoema, 2007).
Oleh karena itu, kini saatnya kita berupaya membangun karakter secara sungguh-sungguh. Pendidikan harus kita fungsikan sebagaimana mestinya, sebagai sarana terbaik untuk memicu kebangkitan dan menggerakkan zaman. Sekolah di seluruh penjuru negeri mesti bersama-sama menjadikan dirinya: sekolah karakter, tempat terbaik untuk menumbuhkembangkan karakter. (Saptono, 2011)
3.2          Upaya yang Dilakukan untuk Meningkatkan Pendidikan Karakter di Indonesia
Dari kondisi di atas dapat diketahui betapa krusialnya masalah pendidikan karakter di Indonesia, budaya ketimuran yang menjunjung nilai-nilai etika, moral, sopan santun yang telah mendarah daging saat ini seakan menjadi simbolisasi saja. Oleh karena itu Presiden Joko Widodo pada tahun 2017 akan mengeluarkan Perpres pengganti peraturan Kemendikbud untuk menguatkan pendidikan karakter di Indonesia sebagai upaya mengembalikan nilai-nilai luhur.
Karakter merupakan pendukung utama dalam pembangunan bangsa, kata Bung Karno. Beliau (Soedarsono, 2009:46) mengatakan: “Bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter (character building). Pendidikan karakter adalah istilah luas yang digunakan untuk menggambarkan kurikulum dan ciri-ciri organisasi sekolah dalam mendorong pengembangan nilai-nilai fundamental anak di sekolah. Berbagai subkomponen yang menjadi bagian dari program pendidikan karakter, seperti pembelajaran dan kurikulum tentang keterampilan-keterampilan sosial, pengembangan moral, pendidikan nilai, pembinaan kepedulian, dan berbagai program pengembangan sekolah yang mencerminkan aktivitas yang mengarah pada pendidikan karakter (Yaumi, 2014). Berdasarkan definisi tersebut terdapat beberapa nilai-nilai yang diharapkan dapat tertanam pada diri anak. Nilai-nilai karakter yang diharapkan mampu terimplementasi dalam berpikir, berkehendak, dan bertindak.
Pada dasarnya, pendidikan karakter telah lama dianut secara tersirat dalam penyelenggaraan pendidikan nasional, akan tetapi perumusan, indikator, karakteristik, dan komponennya belum ditetapkan secara jelas. Seiring berkembangnya zaman, karakter yang dahulu penerapannya hanya tersirat saja kemudian mulai luntur dari jati diri generasi bangsa. Kejadian yang tidak sesuai dengan karakter Indonesia, lumrah terjadi di beberapa daerah di Indonesia.
Penerapan pendidikan karakter di Indonesia mulai dan bahkan telah diterapkan seperti, kebijakan nasional pembangunan karakter bangsa tahun 2010, kurikulum KTSP, kurikulum 2013, pemberlakuan full day school kemendikbud tahun 2017, bahkan Perpres pengganti peraturan Kementrian dan Kebudayaan Indonesia yang menekankan pada pendidikan karakter akan diterbitkan. Akan tetapi, kebijakan-kebijakan tersebut masih belum berhasil atau tidak bisa menjamin untuk memperbaiki degradasi moral yang terjadi di Indonesia.
Pada penerapannya sebenarnya pendidikan karaker sudah tersisip pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang dijadikan mata pelajaran wajib dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Akan tetapi, saat direalisasikan pengalokasian waktunya sangatlah minim. Dalam satu minggu siswa hanya mendapat satu kali pertemuan dengan alokasi waktu kurang lebih 90 menit. Selain itu, dengan waktu yang sangat singkat, siswa juga merasa bosan untuk mendengarkan pelajaran karena seringkali guru mengemas materi dengan tidak menarik, penyampaian yang monoton sehingga siswa jenuh dan enggan untuk mendengarkan pelajaran. Hal ini tentu saja menyebabkan nilai-nilai karakter yang ingin disampaikan guru menjadi tidak mengena pada diri siswa.
Oleh karena itu, harus ada suatu wadah yang dikemas secara tidak membosankan untuk mengembalikan nilai-nilai karakter masyarakat Indonesia. Generasi saat ini harus disiapkan untuk menuju generasi emas menyongsong Indonesia tahun 2045, yaitu generasi harapan Indonesia ke depannya, yang mandiri dan tetap menjaga nilai-nilai karakter serta ciri khas negara Indonesia yang berlandaskan pancasila dan UUD 1945.
3.3          WAYANG (Wadah Apresiasi Budaya Anak Negeri) sebagai revitalisasi pendidikan karakter menyongsong generasi emas Indonesia 2045
Degradasi moral yang terjadi di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki nilai-nilai karakter masyarakat Indonesia. Perubahan menteri kebudayaan dan pendidikan mengakibatkan sistem pendidikan karakter juga berubah.  Hal ini menunjukkan telah banyak usaha sadar yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki sistem pendidikan dalam upaya meningkatkan pendidikan karakter di Indonesia. Akan tetapi, usaha-usaha yang dilakukan masih sedikit berdampak pada kehidupan masyarakat Indonesia. Buktinya masih terjadi kasus degradasi moral yang seharusnya tidak terjadi pada negara yang menganut ideologi pancasila dan berlandaskan UUD 1945.
Dalam upaya merevitalisasi pendidikan karakter perlu adanya suatu problem solving yang dapat mengatasinya. WAYANG (Wadah Apresiasi Budaya Anak Negeri) sebagai revitalisasi pendidikan karakter menyongsong generasi emas Indonesia 2045, kami usulkan untuk memperbaiki keadaan moral di negeri ini. Wayang sebagai karya asli anak negeri perlu dilestarikan keberadaannya, melihat akhir-akhir ini kurangnya minat generasi muda terhadap wayang. Selain itu, wayang berfungsi sebagai wadah yang dapat digunakan Indonesia menghadapai generasi emas 2045, dimana pada tahun tersebut menjunjung tinggi nilai-nilai karakter.
Pada masa lalu, upaya merevitalisasi wayang sebagai media komunikasi sudah banyak dilakukan. Sayang pada masa kini upaya semacam itu mulai meredup. Hanya beberapa stasiun televisi nasional yang menayangkan wayang. Padahal wayang sebagai media komunikasi masih besar. Wayang masih mendapatkan perhatian pendengar dan pemirsanya karena rujukan nilai yang terkandung di dalamnya. (Tulung, 2011)
 Tokoh-tokoh pewayangan tidak saja merupakan salah satu sumber pencarian nilai-nilai yang amat diperlukan bagi kelangsungan hidup bangsa, tetapi juga merupakan salah satu wahana atau alat pendidikan watak yang baik sekali, terutama melalui tokoh-tokoh sentral. Pertunjukan wayang itu sendiri sebenarnya merupakan alat pendidikan watak yang menawarkan metode penddikan yang amat menarik. Hal ini karena wayang melalui tokoh-tokoh sentral dari lakon-lakon tertentu mengajarkan ajaran dan nilai-nilai yang secara dogmatis tidak sebagai satu indoktrinasi, tetapi ia menawarkan ajaran-ajaran dan nilai-nilai kepada penonton (masyarakat dan indvidu-indvidu). (Mintosih, 1995)
Oleh karena itu, konsep yang kami usulkan dalam pertunjukan wayang adalah pada akhir semester siswa wajib membuat pertunjukan wayang yang di dalamnya terdapat nilai-nilai karakter dan budaya. Sebuah budaya akan merasuk ke dalam sistem sosial tertentu melalui internalisasi. Salah satu caranya adalah melalui jalur pendidikan. (Tulung, Wayang sebagai Media Komunikasi Tradisional dalam Diseminasi Informasi, 2011). Jadi, siswa diberi kesempatan untuk memilih tokoh-tokoh wayang yang akan dipertunjukan saat akhir semester. Di dalam pertunjukkan tersebut, harus ada kolaborasi unsur-unsur seni musik dan tari yang berkaitan dengan budaya setempat. Dengan tujuan siswa dapat menyalurkan kreativitasnya melalui pertunjukan wayang. Jadi tidak hanya melakukan pertunjukan wayang untuk melestarikan budaya serta untuk mengembalikan pentingnya nilai-nilai karakter, akan tetapi juga siswa dituntut untuk memiliki kreativitas seni dan musik yang disinergikan dengan pertunjukan wayang. Maka, wayang dapat benar-benar sebagai wadah untuk menyalurkan ke dua fungsi tersebut.
Seperti yang kita ketahui, wayang merupakan karya asli anak negeri yang memiliki tingkat kebosanan tinggi dalam pertunjukkannya, sehingga mengakibatkan sedikitnya masyarakat Indonesia yang menggemari wayang. Oleh karena itu, Wayang akan dikonsep sebagai wadah yang tidak membosankan, seperti mengkolaborasikan tokoh-tokoh berpengaruh zaman dahulu dan sekarang. Alur ceritanya juga akan dibawakan secara komedi.
 Pada tahap awal dalam pertunjukan wayang akan diberikan permasalahan-permasalahan yang tidak mengedepankan nilai-nilai karakter dan juga akan diberikan aktivitas-aktivitas yang mendukung nilai karakter. Dari situlah siswa akan membandingkan antara unsur-unsur cerita yang mengedepankan nilai karakter dan tidak. Kemudian di akhir cerita akan dipertontonkan cerita yang mengarah pada keridaksuksesan unsur-unsur peristiwa yang tidak mengedepankan nilai-nilai karakter. Jadi setelah berakhirnya pertunjukan wayang dapat menstimulus siswa melakukan aktivitas sadar yang sesuai nilai-nilai karakter yang ada di Indonesia.
Dengan adanya pertunjukan wayang yang wajib dilakukan oleh siswa diakhir semester, dapat dijadikan alternatif untuk mempersiapkan generasi emas menyongsong Indonesia 2045. Seperti yang kita ketahui, bahwa Indonesia harus benar-benar mandiri, aktif dan memiliki pendidikan karakter yang kuat untuk mensukseskan generasi emas tahun 2045.




BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Kondisi karakter generasi Indonesia kian hari makin memprihatinkan. Belakangan ini mulai bermunculan kasus yang menunjukkan adanya degradasi moral seperti kekerasan, pelecehan, serta beragai tindakan tercela yang mana pelakunya adalah siswa yang sedang menempuh pendidikan. Hal ini menunjukkan adanya pengikisan nilai karakter. Penerapan pendidikan karakter sebenarnya di Indonesia telah lama dianut secara tersirat dalam pendidikan nasional, akan tetapi perumusannya belum ditetapkan secara jelas. Selain itu, pendidikan karakter mulai dan bahkan telah diterapkan seperti, kebijakan nasional pembangunan karakter bangsa tahun 2010 akan tetapi kebijakan tersebut masih belum berhasil.
Oleh karena itulah, dalam upaya merevitalisasi pendidikan karakter perlu adanya suatu problem solving yang dapat mengatasinya. WAYANG (Wadah Apresiasi Budaya Anak Negeri) sebagai revitalisasi pendidikan karakter menyongsong generasi emas Indonesia 2045, kami usulkan untuk memperbaiki keadaan moral di negeri ini. Wayang sebagai karya asli anak negeri perlu dilestarikan keberadaannya, melihat akhir-akhir ini kurangnya minat generasi muda terhadap wayang. Selain itu, wayang berfungsi sebagai wadah yang dapat digunakan Indonesia menghadapai generasi emas 2045.
4.2 SARAN
Indonesia merupakan negara yang dikenal di mata dunia sebagai negara yang menjunjung budaya kesantunan, keramahan, beretika. Belakangan ini mulai bermunculan kasus-kasus yang menunjukkan adanya degradasi moral generasi Indonesia. Hal ini menunjukkan adanya penurunan nilai karakter sehingga perlu adanya perbaikan serta revitalisasi karakter. Seyogyanya, para generasi haruslah mampu menjadi genarasi yang bukan hanya unggul dalam hal akademik namun juga pada karakternya. Indonesia bukan hanya butuh generasi berintelektual untuk bisa maju, namun yang lebih penting harus mencetak generasi yang berkarakter, beretika, dan bermoral.


DAFTAR PUSTAKA
Made Purna, I dan Mintosih Sri. 1995. Arti dan Makna Tokoh Pewayangan Mahabarata dalam Pembentukan dan Pembinaan Watak (Seri I). Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Saptono. 2011. Dimensi-dimensi Pendidikan Karakter Wawasan, Strategi dan Langkah Praktis.Salatiga:Erlangga.
H. Tulung, Freddy.2011.Wayang sebagai Media Komunikasi Tradisional dalam Dimensi Informasi.Jakarta:Kementrian Komunikasi dan Informatika RI Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik.
Kusuma, Doni.2007.Pendidikan Karakter Strategi Anak dalam Global.Jakarta:Grasindo.
Yaumy, Muhammad.2014.Pendidikan Karakter Landasan, Pilar dan Implementasi.Jakarta:Prenadamedia Group.
Manullang, Belferik (2013). Grand Desain Pendidikan Karakter Generasi Emas 2045.Jurnal Pendidikan Karakter, Nomor 1, Hal 1-14.



close